Jangan Panik! Ini Cara Aman Investasi Saham di Tengah Konflik Dunia

photo author
- Senin, 7 Juli 2025 | 12:45 WIB
Foto ilustrasi: Investor Saham di Pasar Modal (Pixabay/sergeitokmakov)
Foto ilustrasi: Investor Saham di Pasar Modal (Pixabay/sergeitokmakov)

CATATAN BANDUNG – Ketegangan geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan terbaru, konflik Israel–Iran, kembali menimbulkan gejolak di pasar saham global. Para investor, baik institusi maupun ritel, mulai memindahkan asetnya ke instrumen yang lebih aman, menyebabkan koreksi tajam pada indeks saham dan depresiasi nilai tukar di negara berkembang seperti Indonesia.

Perang yang berkecamuk antara Israel dan Iran, serta ketegangan geopolitik lainnya seperti konflik Rusia-Ukraina dan Asia Timur, telah menciptakan guncangan besar di pasar keuangan global. Para investor dihadapkan pada ketidakpastian tinggi, membuat pasar saham berfluktuasi tajam dan mendorong aksi jual besar-besaran.

Ketidakpastian yang muncul akibat konflik ini menjadi momok bagi para investor, baik institusi maupun ritel. Namun, di balik ketakutan, selalu ada peluang yang bisa dimanfaatkan jika kita memahami bagaimana jalur dampaknya terhadap pasar saham.

Hal pertama yang terjadi saat muncul kabar konflik atau perang adalah meningkatnya ketidakpastian. Psikologi pasar cenderung bereaksi negatif terhadap ketidakpastian. Banyak investor memilih menjual saham dan mengalihkan dana ke aset "safe haven" seperti emas atau obligasi pemerintah. Lonjakan harga emas pada awal perang Rusia-Ukraina adalah contoh nyata bagaimana investor mencari perlindungan.

Selain itu, investor global cenderung menarik modalnya dari pasar negara berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia, untuk mengurangi risiko. Penarikan dana ini dikenal dengan istilah capital outflow, yang kemudian menekan nilai tukar mata uang lokal dan membuat volatilitas pasar semakin tinggi. Salah satu dampak langsung dari perang adalah fluktuasi harga komoditas global, khususnya minyak, gas, dan pangan. Misalnya, Rusia dan Ukraina merupakan eksportir gandum terbesar dunia. Konflik di wilayah tersebut sempat memicu lonjakan harga gandum global hingga puluhan persen. Kenaikan harga pangan dan energi kemudian mendorong inflasi di banyak negara.

Baca Juga: Jadwal Trans TV Minggu Ini 6 Juli 2025: Jumanji, Bikin Laper, dan Cerita Dibalik Hijab Temani Harimu

Di Indonesia, saham-saham sektor energi (misalnya emiten batu bara atau minyak) bisa terdorong naik saat harga energi dunia melonjak. Akan tetapi, bagi sektor yang sangat bergantung pada bahan baku impor (seperti industri manufaktur), kenaikan harga komoditas justru bisa menjadi beban yang mengurangi profitabilitas. Saat konflik geopolitik meletus, investor global cenderung memilih mata uang yang lebih stabil seperti dolar AS. Akibatnya, mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, sering kali tertekan. Depresiasi rupiah akan meningkatkan biaya impor, menaikkan beban utang perusahaan yang memiliki kewajiban dalam dolar, dan berpotensi menekan laba bersih emiten.

Sebaliknya, bagi emiten yang memiliki pendapatan ekspor dalam dolar, pelemahan rupiah bisa menjadi keuntungan tambahan. Contohnya, perusahaan kelapa sawit atau nikel yang mengekspor produknya dalam dolar bisa mencatatkan keuntungan selisih kurs.

Indeks saham suatu negara merupakan cerminan optimisme dan ekspektasi para investor terhadap kondisi ekonomi dan kinerja perusahaan-perusahaan besar di dalamnya. Saat terjadi perang, indeks saham di banyak negara cenderung jatuh karena dominasi aksi jual. Contohnya, pada awal perang Ukraina, banyak indeks utama dunia seperti S&P 500, FTSE 100, hingga Nikkei 225 mengalami koreksi cukup tajam.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia juga tak luput dari tekanan. Namun, Indonesia memiliki keunikan karena didukung sektor komoditas yang justru bisa diuntungkan ketika harga komoditas global naik. Inilah sebabnya, meskipun sempat turun, IHSG pada beberapa periode perang berhasil pulih lebih cepat dibanding negara lain.

Adapun sektor usaha yang rentan adalah manufaktur berbasis impor. Kenaikan harga bahan baku dan pelemahan rupiah bisa menggerus margin laba. Lalu transportasi & logistik, terkena dampak kenaikan harga bahan bakar. Perbankan juga mengalami risiko kredit meningkat jika banyak perusahaan yang kesulitan membayar utang.

Sementara sektor yang diuntungkan adalah energi dan batu bara berkat harga komoditas global yang naik karena permintaan tinggi. Selain itu, perkebunan (CPO, karet) juga mendapat tambahan pendapatan ekspor. Lalu, logam dan mineral (nikel, tembaga) medapatkan dukungan permintaan global, khususnya terkait energi baru terbarukan.

Mengapa investor tidak perlu panik? Dalam jangka pendek, konflik geopolitik memang memicu volatilitas tajam. Namun, sejarah membuktikan bahwa pasar modal cenderung pulih dalam jangka panjang. Investor yang disiplin dan memiliki horizon investasi panjang justru bisa memanfaatkan koreksi harga saham sebagai peluang untuk membeli di harga lebih murah.

Baca Juga: Jadwal Acara Indosiar, Minggu 6 Jui 2025: Piala Presiden 2025 Port FC vs Persib Bandung, Kisah Nyata, Mega Film Asia

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ahmad Taofik

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X