Permohonan uji materi UU Tapera ini sebelumnya diajukan oleh karyawan swasta Leonardo Olefins Hamonangan dan pelaku usaha Ricky Donny Lamhot Marpaung.
Mereka berpendapat bahwa kewajiban kepesertaan Tapera akan menambah beban masyarakat, termasuk sektor informal, serta berpotensi menurunkan minat menjadi pelaku usaha.
Putusan MK ini sekaligus menghapus kewajiban pemotongan gaji pekerja maupun iuran pekerja mandiri untuk Tapera.
Latar Belakang Penolakan Publik
Program Tapera sejak awal menuai penolakan. Pada Juni 2024 silam, gelombang aksi buruh terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Di Jakarta, ribuan buruh dari sejumlah serikat nasional memadati kawasan Patung Kuda untuk menolak Tapera.
Mereka menilai manfaat program kepemilikan rumah tidak jelas dan khawatir dana masyarakat berisiko disalahgunakan.
Selain di Jakarta, ratusan buruh di Yogyakarta juga menolak pemotongan upah untuk Tapera karena dianggap memberatkan.
Aksi serupa juga berlangsung di Kabupaten Tangerang, Banten, dengan tuntutan agar kebijakan Tapera dapat ditinjau ulang.
Para buruh menegaskan, kewajiban Tapera justru menambah beban hidup di tengah tingginya biaya kebutuhan sehari-hari.
Implikasi Putusan MK
Dengan pembatalan UU Tapera, seluruh aturan turunan terkait kewajiban kepesertaan Tapera tidak lagi berlaku.
Konsep tabungan perumahan rakyat kini ditegaskan kembali sebagai skema sukarela, sesuai dengan prinsip tabungan pada umumnya.
Putusan MK ini menjadi angin segar bagi kalangan pekerja dan buruh yang selama ini menolak iuran wajib Tapera.
Kendati demikian, pemerintah masih dihadapkan pada tantangan menyediakan skema alternatif pembiayaan perumahan rakyat yang adil, transparan, dan berkelanjutan.*