CATATAN BANDUNG – Dalam beberapa tahun terakhir, konsep Environmental, Social, and Governance (ESG) telah menjadi perhatian utama di dunia bisnis dan investasi. ESG tidak lagi dianggap sebagai elemen sekunder, melainkan sebagai faktor kunci dalam menilai kinerja dan keberlanjutan perusahaan. Di Indonesia, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengadopsi standar ESG untuk mendorong praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab.
ESG merupakan kerangka kerja yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan berdasarkan tiga pilar utama. Pertama, environmental (lingkungan) yang berfokus pada dampak operasi perusahaan terhadap lingkungan, seperti emisi karbon, penggunaan energi, dan pengelolaan limbah. Kedua, social (sosial) yang berhubungan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap komunitas dan tenaga kerja, seperti hak asasi manusia, kondisi kerja, dan dampak sosial produk atau layanan yang dihasilkan. Ketiga, governance (tata kelola) yaitu menilai praktik tata kelola perusahaan, termasuk transparansi, etika bisnis, dan manajemen risiko.
Perusahaan yang memenuhi standar ESG dianggap lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab, yang pada akhirnya dapat meningkatkan reputasi, kepercayaan investor, serta akses ke modal. Sejalan dengan tren global ini, BEI telah memperkenalkan berbagai inisiatif untuk mendorong penerapan ESG di perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEI. Pada tahun 2020, BEI meluncurkan Indeks ESG Leaders IDX, yang berfokus pada perusahaan-perusahaan yang telah mengadopsi praktik terbaik ESG. Indeks ini memberikan panduan bagi investor yang ingin berinvestasi di perusahaan yang menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan.
Selain itu, BEI juga bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk menyediakan pelatihan dan panduan bagi emiten dalam hal pelaporan ESG. Hal ini penting karena pelaporan ESG yang transparan memungkinkan investor untuk lebih mudah mengevaluasi kinerja perusahaan dari perspektif keberlanjutan.
Baca Juga: KAI Daop 2 Bandung Bersama BTP Kelas 1 Bandung Tutup Perlintasan No.157 Ciroyom
Sejarah konsep ESG bermula pada tahun 1987, yang merupakan tonggak penting dalam perkembangan gagasan keberlanjutan. Pada momen tersebut, Laporan Brundtland yang secara resmi berjudul "Our Common Future," diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED) yang dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia.
Laporan Brundtland memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang "memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri." Ini menjadi dasar pemikiran yang menghubungkan antara keberlanjutan lingkungan, kemajuan ekonomi, dan kesejahteraan sosial dalam satu kerangka yang saling bergantung.
Meskipun laporan ini belum secara langsung menggunakan istilah ESG, gagasan inti dari pembangunan berkelanjutan yang diangkat oleh Brundtland menjadi inspirasi bagi perkembangan lebih lanjut dari kerangka ESG. Konsep ESG sendiri baru berkembang secara formal beberapa dekade kemudian, tetapi dasar pemikirannya, terutama dalam hal tanggung jawab lingkungan dan sosial, sudah dimulai dengan laporan tersebut pada tahun 1987. ESG kemudian menjadi fokus utama dalam investasi global dan praktik bisnis, menggabungkan pilar ESG sebagai metrik penting dalam menilai keberlanjutan dan tanggung jawab perusahaan.
ESG tetap relevan hingga hari ini karena peran pentingnya dalam memastikan bisnis dan investasi tidak hanya fokus pada keuntungan finansial jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, masyarakat, dan tata kelola perusahaan.
Sampai hari ini, ESG masih relevan karena sejumlah situasi saat ini. Pertama, krisis lingkungan yang meningkat. Masalah lingkungan seperti perubahan iklim, polusi, dan deforestasi semakin mendesak. ESG membantu memastikan perusahaan bertanggung jawab terhadap dampak lingkungannya. Konsumen, pemerintah, dan investor semakin peduli pada jejak karbon dan penggunaan sumber daya yang berkelanjutan. Hal ini membuat aspek Environmental dari ESG sangat penting dalam menilai risiko jangka panjang dan keberlanjutan bisnis.
Kedua, kesadaran sosial yang meningkat. Isu-isu sosial seperti hak asasi manusia, kesejahteraan karyawan, kesetaraan gender, dan hak pekerja telah menjadi perhatian utama. Social dalam ESG memastikan perusahaan memperhatikan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat, pekerja, dan pelanggan. Perusahaan yang mengabaikan aspek sosial berisiko kehilangan kepercayaan dari publik dan investor.
Baca Juga: Kumpulan Kode Promo Gojek dan Grab, Rabu 23 Oktober 2024: Makan Siang Ada Diskon Spesial
Ketiga, permintaan investor untuk investasi berkelanjutan. Investor kini semakin menyadari pentingnya berinvestasi di perusahaan yang berkelanjutan. Banyak investor institusional, seperti dana pensiun dan manajer aset besar, memperhitungkan kriteria ESG dalam portofolio mereka. Mereka menyadari bahwa perusahaan dengan praktik ESG yang baik cenderung lebih stabil, berisiko rendah, dan lebih berkelanjutan di masa depan.
Keempat, perubahan regulasi dan kebijakan pemerintah. Pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin mengadopsi kebijakan yang mendukung keberlanjutan. Ini termasuk regulasi terkait pengurangan emisi karbon, hak-hak pekerja, dan transparansi tata kelola. Perusahaan yang tidak mematuhi standar ESG berisiko terkena sanksi atau kehilangan akses ke pasar tertentu.